SEMARANG – Kepala Dinas Pendidikan (Disdik)
Provinsi Jateng Kunto Nugroho menegaskan, keberadaan sekolah menengah
kejuruan (SMK) memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, pelatihan,
serta pengembangan ilmu dan teknologi.
”Jadi SMK tidak memiliki fungsi sebagai pusat industri, meski beberapa produk unggulan dihasilkan. Misalnya dengan kemunculan mobil Kiat Esemka,” ujar Kunto kemarin.
Sebagai pusat pendidikan, pelatihan, pengembangan ilmu dan teknologi, sudah tentu berbagai produk dapat dihasilkan oleh siswa-siswi SMK. Dan keberadaan mobil Esemka merupakan salah satu dari sekian banyak produk yang dihasilkan oleh para siswa-siswi.
”SMK saat ini sudah mengembangkan 424 program keahlian. Selain di bidang automotif, ada bidang pertanian, serta lainnya,” papar Kunto.
Bila produk yang dihasilkan oleh SMK selanjutnya banyak dibutuhkan pasar, tentu akan diproduksi secara massal oleh kalangan industri. ”Jadi biarlah SMK tetap menjadi pusat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,” imbuhnya.
Sebagai sekolah yang mencetak tenaga siap kerja, pemerintah terus mendorong berkembangnya jumlah SMK. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kabupaten/ kota.
”Lulusan SMK dicetak untuk siap terjun di dunia kerja selepas lulus. Jika seluruh SMK negeri rata-rata mencapai angka 85,12 persen, khusus untuk salah satu SMK seperti SMKN 7 Semarang, angka lulusannya yang terserap sangat tinggi yakni mencapai 97 persen,” klaim Kepala Disdik Kota Semarang Bunyamin.
Tak hanya untuk SMKN, lulusan dari SMK swasta di Kota Semarang juga demikian. Angka keterserapan di dunia kerja juga terhitung cukup tinggi yakni 60 persen. Sementara sisanya sama dengan SMKN, beberapa masih menunggu lapangan pekerjaan dan sebagian lagi melanjutkan studi di bangku kuliah.
”Dari angka-angka ini, dapat disimpulkan lulusan SMK dapat diandalkan untuk masuk dunia kerja secara langsung,” tandasnya.
Sebagai perbandingan, lulusan SMA, baik SMA negeri maupun SMA swasta yang terserap di dunia kerja jauh dengan lulusan SMK. Dari data yang dimiliki Disdik, rata-rata lulusan yang terserap hanya 42 persen. Sisanya sebagian melanjutkan kuliah dan lainnya masih menganggur.
”Berdasarkan data tersebut, kita dorong berkembangnya SMK di Semarang. Paling tidak perbandingan jumlah sekolah tersebut dengan SMA harus 70 persen untuk SMK dan 30 persen untuk SMA. Sementara ini angkanya masih ada berada pada kisaran 62 persen untuk SMK dan 38 persen untuk SMA,” paparnya. (susilo himawan/koran si)(//rfa)
Sumber: Link.
”Jadi SMK tidak memiliki fungsi sebagai pusat industri, meski beberapa produk unggulan dihasilkan. Misalnya dengan kemunculan mobil Kiat Esemka,” ujar Kunto kemarin.
Sebagai pusat pendidikan, pelatihan, pengembangan ilmu dan teknologi, sudah tentu berbagai produk dapat dihasilkan oleh siswa-siswi SMK. Dan keberadaan mobil Esemka merupakan salah satu dari sekian banyak produk yang dihasilkan oleh para siswa-siswi.
”SMK saat ini sudah mengembangkan 424 program keahlian. Selain di bidang automotif, ada bidang pertanian, serta lainnya,” papar Kunto.
Bila produk yang dihasilkan oleh SMK selanjutnya banyak dibutuhkan pasar, tentu akan diproduksi secara massal oleh kalangan industri. ”Jadi biarlah SMK tetap menjadi pusat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,” imbuhnya.
Sebagai sekolah yang mencetak tenaga siap kerja, pemerintah terus mendorong berkembangnya jumlah SMK. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kabupaten/ kota.
”Lulusan SMK dicetak untuk siap terjun di dunia kerja selepas lulus. Jika seluruh SMK negeri rata-rata mencapai angka 85,12 persen, khusus untuk salah satu SMK seperti SMKN 7 Semarang, angka lulusannya yang terserap sangat tinggi yakni mencapai 97 persen,” klaim Kepala Disdik Kota Semarang Bunyamin.
Tak hanya untuk SMKN, lulusan dari SMK swasta di Kota Semarang juga demikian. Angka keterserapan di dunia kerja juga terhitung cukup tinggi yakni 60 persen. Sementara sisanya sama dengan SMKN, beberapa masih menunggu lapangan pekerjaan dan sebagian lagi melanjutkan studi di bangku kuliah.
”Dari angka-angka ini, dapat disimpulkan lulusan SMK dapat diandalkan untuk masuk dunia kerja secara langsung,” tandasnya.
Sebagai perbandingan, lulusan SMA, baik SMA negeri maupun SMA swasta yang terserap di dunia kerja jauh dengan lulusan SMK. Dari data yang dimiliki Disdik, rata-rata lulusan yang terserap hanya 42 persen. Sisanya sebagian melanjutkan kuliah dan lainnya masih menganggur.
”Berdasarkan data tersebut, kita dorong berkembangnya SMK di Semarang. Paling tidak perbandingan jumlah sekolah tersebut dengan SMA harus 70 persen untuk SMK dan 30 persen untuk SMA. Sementara ini angkanya masih ada berada pada kisaran 62 persen untuk SMK dan 38 persen untuk SMA,” paparnya. (susilo himawan/koran si)(//rfa)
Sumber: Link.
0 komentar:
Post a Comment